Jumat, 10 April 2015


Great Teacher Onizuka

13499544841765145188 
Tawuran Pelajar, Pemalakan Oleh Siswa sekolah lain dan berbagai kekerasan oleh pelajar bahkan sampai pembunuhan menghiasi berita di media akhir-akhir ini.
Siapa yang salah, bisa jadi guru, orangtua bahkan kurikulum. Tapi sebenarnya soal pendidikan sebagian besar haruslah dilakukan oleh guru secara guru mengisi sebagian besar waktu “bangun” seorang pelajar.

Haruskah pelajaran lebih di perbanyak? Halo! Coba liat saja pelajaran SD jaman sekarang ini. Belum tentu orang tua murid bisa mengerjakan pelajaran Siswa SD dengan baik! dimana tidak seperti waktu tahun 80-an, pelajaran yang diterima anak SD sekarang adalah pelajaran SMP pada masa itu. Semakin jenuh saja nanti para siswa jika pelajaran diperbanyak.
Gurulah yang harus menghilangkan jenuh para siswa ini. Guru bukan cuma mengejar target siswa mendapat nilai bagus saja, tapi gurulah yang paling besar membangun karakter siswa ini. Bukan sekedar mengajar pada jam pelajaran dan meninggalkan mereka disaat jam mengajar selesai.
Ada cerita tentang guru yang paling saya sukai, cerita ini berasal dari komik jepang yang akhirnya diadaptasi ke film kartun bahkan dorama, sinetron model jepang.  Judulnya; Great Teacher Onizuka. Cerita mengenai  pemuda bernama Onizuka, seorang mantan berandalan yang akhirnya menjadi seorang guru sebuah sekolah.

Dia melakukan pendekatan dengan siswa-siswinya yang bermasalah dengan caranya sendiri. Dimana berbagai masalah yang dialami siswa-siswinya seperti kurang perhatian orang tua, kemiskinan, perbedaan pola pikir dan sebagainya berhasil diselesaikannya. Bahkan pada saat-saat yang diperlukan, Onizuka harus menggunakan kemampuan bela dirinya untuk menyelesaikan suatu masalah. Berkelahi memang pilihan terakhir, tapi pada kenyataan di dunia ini, berkelahi ataupun beladiri kadang diperlukan dalam menghadapi permasalahan. Lihat saja sidang DPR/MPR banyak sekali para anggota yang terhormat ternyata jagoan beladiri.

Dari pelajaran hidup yang aku pelajari, untuk membuat orang menurut dan mengakui kemampuan kita, kita harus membuktikan bahwa kita punya kemampuan yang lebih daripadanya. Untuk menghadapi seorang siswa yang suka berkelahi misalnya, seorang guru harus bisa membuktikan bahwa dirinya lebih jago berkelahi dari sang siswa. Tantang siswa adu push-up misalnya untuk membuktikan kemampuannya. Beranikah seorang guru melakukannya?


13499555911731452945

Seorang Guru yang juga jago berkelahi..
Tentu para guru yang membaca tulisan ini akan berpendapat, “GTO itukan cuma film”. Betul, ini memang cuma sebuah film. tapi cara pendekatan Onizuka sebagai guru dengan para siswanya harus bisa ditiru oleh para guru.
Ingatan saya terhadap karakter seorang guru mungkin tidak berbeda dengan karakter guru saat ini, Arogan, Sok Tau, dan merasa hebat. Guru ortodok seperti itu juga dimunculkan dalam “Great Teacher Onizuka” dimana dikisahkan bahwa dengan karakter guru ortodok seperti itu, siswa-siswa tidak menjadi pelajar yang baik, melainkan menjadi siswa-siswi yang semaunya sendiri dan selalu menyalahkan orang lain atas segala kesulitan yang terjadi. Persis seperti kondisi sekarang ini.
Seandainya para guru sekarang ini bisa bersikap seperti Onizuka, sepertinya berbagai permasalahan yang dialami para siswa sekarang ini tidak akan terjadi. Seorang guru haruslah bisa mengayomi para siswanya, menjadi tempat curhat yang enak dan bisa menceritakan tentang kehidupan sesungguhnya yang akan dihadapi para siswanya dimasa depan.

Pelajaran sekolah yang di pelajari di sekolah saat ini tidaklah 100% diperlukan sebagai bekal masa depan. Paling banyak cuma 30% yang akan dipakai di masa depan. Pendidikan mental siswa dan pembentukan karakterlah yang paling perlu didapatkan siswa sekolah. Pelajaran Agama, Pancasila dan sebagainya yang diajarkan disekolah tidaklah cukup untuk membentuk mental dan karakter siswa, sentuhan personal dari gurulah yang harus dapat membuat siswa menjadi manusia seutuhnya.
Seorang guru sejati bukanlah cuma mengajar ilmu sesuai dengan bidang yang diajarkannya tetapi yang paling penting harus bisa menyelami karakter siswanya. Tiap siswa punya bakat tersendiri yang jelas berbeda dengan siswa lainnya. Tugas seorang gurulah untuk menemukan bakat dari tiap-tiap siswa.

Nilai bagus pada mata pelajaran bukanlah jaminan bahwa siswa itu mempunyai karakter yang baik sebagai manusia. Terbukti banyak yang nilainya buruk pada pelajaran bisa menjadi manusia yang sukses dalam kehidupan. Masih teringat dalam kenanganku, seorang Dede Yusuf berkata pada mantan gurunya semasa SMA, “Jika saya tidak diberi nilai 5 pada mata pelajaran ibu, saya tidak akan jadi seperti sekarang!”  Kata-kata seorang Dede Yusuf pada waktu acara reuni akbar sekolahnya beberapa tahun lalu itu membuatku tertawa. Dimana memang jika nilai-nilai Dede Yusuf dulu bagus-bagus, bisa jadi dia menjadi seorang profesor, bukan artis yang terjun ke pemerintahan seperti yang dilakukannya saat ini.


Komentar dan Kritikan

Untuk itu, bagi para sahabat Kompasianer yang berprofesi sebagai guru, cobalah untuk menjadi seorang guru yang tidak arogan, dekatlah dengan para siswanya, cari tau kelebihan siswanya dan cobalah menjadi seorang teman yang baik untuk para siswanya.
Cobalah untuk menjadi seorang “Great Teacher Onizuka”.

Intinya, seorang guru harus memahami dan mengakui. bahwa mata pelajaran yang diajarkannya bukanlah jaminan dapat menjadikan seorang siswa menjadi manusia yang berhasil. Justru pembentukan karakterlah yang terpenting untuk diajarkan pada para siswanya.
Dulu pada waktu SMA, saya sendiri adalah seorang siswa yang selalu menempati rangking 10 besar dari belakang. Tapi bersyukurlah para guru mengetahui bahwa saya mempunyai bakat di bidang Seni. Masih teringat seorang guru Fisika yang sekarang sudah bahagia di surga sana, dulu meminta saya membuat ilustrasi untuk buku yang ditulisnya. Walau nilaiku di mata pelajaran yang diajarnya itu cuma 5, tapi guru itu memberikan apresiasi pada apa yang aku suka dan bisa. Yang menyenangkan ketika tugasnya selesai, guru itu memberikan amplop berisikan beberapa lembar uang padaku. Beliau mengajarkan bahwa aku bisa hidup dari apa yang aku bisa. Sebuah kenangan yang sangat membekas yang merupakan salah satu pelajaran hidup yang membuatku memilih jalan hidupku seperti sekarang ini.

BUDAYA MASYARAKAT DAERAHKU

PALEMBANG (SI) Dua tempat favorit di Palembang, yakni Plaza Benteng Kuto Besak (BKB) dan Jembatan Ampera, ramai dikunjungi wisatawan dadakan selama musim libur Lebaran ini.
Berbagai jenis kendaraan bermotor dari luar Sumatera Selatan terlihat memadati areal parkir BKB dan berjejer di atas jembatan yang selama ini menjadi landmark Kota Palembang. Bahkan, banyak di antara pengunjung menyempatkan diri berfoto dan menikmati suasana Sungai Musi dari atas jembatan kebanggaan Wong Kito itu.

Memang harus diakui, suasana di sekitar Jembatan Ampera,terutama saat malam hari,memancarkan pesona yang begitu indah dan tidak mudah dilupakan bagi pendatang. Apalagi,warna-warni cahaya lampu hias di sela-sela temaramnya bantaran aliran Sungai Musi turut memantulkan perpaduan warna menawan di permukaan air sungai dan sekitar kawasan objek wisata air tersebut.
Ya, untuk memikat pengunjung, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang memang sengaja memasang berbagai aneka lampu hias di sepanjang jembatan dan di kedua menara jembatan, termasuk sekitar kawasan BKB. Namun sayang, kurangnya kesadaran para turis dadakan tersebut dan tidak adanya petugas yang berjaga sekitar kawasan membuat arus lalu lintas di jembatan menjadi macet dan terkesan semrawut.


Pasalnya,kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda empat yang dibawa para pelancong,kebanyakan diparkir di atas jembatan hingga menutup hampir separuh ruasjalan.Belumlagi,beberapakendaraan roda dua yang juga diparkir di pinggir trotoar jembatan turut menambah keruwetan lalu lintas di atas jembatan.
Alhasil, sejumlah pengendara yang melintas terpaksa mengurangi kecepatannya. Harum, 42, pelancong asal Jakarta, mengaku sengaja Lebaran kali ini dirayakan bersama keluarganya yang tinggal di daerah Sekip Bendung, Palembang. Menurut dia, seusai bersilaturahmi, sisa libur Lebaran sengaja dimanfaatkannya untuk mengelilingi Kota Palembang dan berbagai tempat wisata yang ada di kota tersebut.
Meski diakuinya sudah pernah mengunjungi BKB dan menikmati keindahan Sungai Musi dari atas Jembatan Ampera, dia belum pernah memandang Sungai Musi saat malam hari.Karena itulah,pada libur Lebaran kali ini,dia dan keluarganya kembali mendatangi jembatan kebanggaan masyarakat Palembang ini pada malam hari.
Ternyata benar sekali,malam hari suasana (Sungai Musi) dari sini (Jembatan Ampera) lebih indah. Lampu-lampu dari rumah dan pabrik di sepanjang Sungai Musi terlihat lebih hidup,tuturnya saat dibincangi SI kemarin malam. Harum juga mengakui, lokasi pelataran BKB dan sekitar Jembatan Ampera saat ini sudah sangat bagus penataannya.
Hanya,menurut dia,sebagaimana lazimnya tempat wisata di daerah lain,BKB dengan Jembatan Ampera masih sangat minim penjual suvenir khas Palembang. Jadi, para pelancong yang berwisata ke tempat ini sedikit kesulitan untuk mencari oleh-oleh khas Palembang.Sayangnya gak ada toko yang jual kenang-kenangan yang mengingatkan pengunjung akan Jembatan Ampera.
Memang ada yang jual, tapi lokasinya agak jauh lagi ya,sesalnya. Sementara itu,Dudi Santoso,wisatawan asal Bandung yang turut menikmati keindahan Sungai Musi, menyarankan,Pemkot Palembang harus berupaya keras menata para pedagang kaki lima (PKL) yang beroperasi di BKB.
Pasalnya, dari sisi penempatan,para PKL tersebut tidak hanya mengganggu pemandangan, tapi juga membuat lokasi sekitar kawasan itu menjadi kumuh. Saran saya, para PKL yang menjual makanan dan minuman ringan serta berjualan mainan diatur di tempat khusus. Jadi, kenyamanan pengunjung tidak terganggu, kata PNS di salah satu dinas di Kabupaten Bandung ini.